Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sistem Ekonomi Kapitalis, Filosofi, Ciri, dan Perkembangannya

Celotehpraja.com Pembahasan hari ini adalah tentang seluk beluk sistem ekonomi kapitalis murni hingga dalam perkembangannya telah mengalami transformasi menjadi sistem ekonomi kapitalis neoliberal. pembahasan ini juga menjelaskan perihal globalisasi ekonomi dan dampak perkembangannya yang makin mengukuhkan sistem kapitalisme global. Pada bagian awal dipaparkan perihal filosofi (paham/ideologi) yang mendasari sistem ekonomi kapitalis (murni) dan menjadi landasan gerak sistem tersebut. Uraian dipertajam dengan menelaah ciri-ciri dan karakteristik penerapan sistem ekonomi kapitalis murni secara teoritik dan empirik. Untuk memperkaya pemahaman mahasiswa maka disajikan ilustrasi praktek penerapan sistem ekonomi kapitalis di dunia.

Pada bagian selanjutnya dibahas perihal transformasi sistem ekonomi kapitalis murni menjadi sistem ekonomi kapitalis neoliberal dengan perkembangannya yang makin pesat hingga sekarang. Secara khusus dipaparkan ideologi yang mendasari sistem ekonomi tersebut, yaitu neoliberalisme. Paparan diperjelas dengan penelaahan ciri-ciri dan karakteristik sistem ekonomi kapitalis neoliberal dan penerapannya di negara-negara dunia, khususnya di Indonesia.


Sistem Ekonomi Kapitalis, Filosofi, Ciri, dan Perkembangannya
Sistem Ekonomi Kapitalis

Pada bagian akhir akan diuraikan perihal hakekat globalisasi ekonomi yang tidak lain adalah kepentingan imperialis korporasi dan pemerintah negara maju untuk mengukuhkan hegemoninya di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Paparan akan diperdalam dengan telaah wujud globalisasi ekonomi dan pengaruh empiriknya di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Bahasan diakhiri dengan uraian kemungkinan perkembangan kapitalisme global yang makin merasuk di setai sendi-sendi perekonomian dunia.

Setelah mempelajari pembahasan ini secara umum Anda diharapkan mampu menganalisis dan menjelaskan perihal konsep dan praktek sistem ekonomi kapital dan wujud kontekstualnya kini sebagai globalisasi ekonomi (kapitalisme global). Indikator kompetensi yang dituju dalam pembahasan ini adalah Anda diharapkan mampu:

  1. Menjelaskan paham filosofis yang mendasari sistem ekonomi kapitalis dan kapitalis neoliberal.
  2. Menjelaskan ciri-ciri dan praktek sistem ekonomi kapitalis dan kapitalis neoliberal di dunia, khususnya di Indonesia.
  3. Menganalisis dan menjelaskan hakekat globalisasi ekonomi dan keterkaitannya dengan sistem kapitalisme global.
  4. Mengananalisis dan menjelaskan wujud globalisasi ekonomi dan dampaknya bagi negara sedang berkembang, khususnya bagi Indonesia.
  5. Menganalisis dan menjelaskan solusi dan strategi keluar dari telikung kapitalisme global. 

A. FILOSOFI SISTEM EKONOMI KAPITALIS MURNI

Sistem Ekonomi Kapitalis muncul pada abad ke-17 ketika dominasi gereja di Eropa mulai runtuh. Dominasi gereja, yang mendoktrinkan kepentingan gereja di atas segala kepentingan, diruntuhkan oleh pandangan yang menekankan pada liberalisme, individualisme, rasionalisme atau intelektulisme, materialisme dan humanisme. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi dasar Sistem Ekonomi Kapitalis. Pemikiran liberalisme meletakkan kebebasan individu sebagai hal yang paling utama. Rasionalisme mengajarkan bahwa peranan rasio (pikiran) lebih penting daripada perasaan. Materialisme adalah paham yang menyatakan bahwa hakikat kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris, yaitu diraba, didengar, dan dirasa. Sementara itu humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa bagi manusia yang penting adalah kehidupan di dunia ini, hidup sesudahnya di luar jangkauan manusia sehingga tidak perlu dipikirkan (Hudiyanto, 2002: 21).

Jika sebelumnya gereja dengan doktrin-doktrinnya menghalang-halangi umat Kristen untuk mengumpulkan kekayaan karena kekayaan sepenuhnya milik gereja, maka setelah keruntuhannya masyarakat Eropa pada zaman itu mulai benar-benar memikirkan penimbunan kekayaan. Pada saat yang sama terjadi perubahan fokus mendapatkan kekayaan. Jika sebelumnya, mereka sangat tergantung dengan perdagangan maka setelah kemunculan penemuan teknologi baru seperti mesin uap, mereka beralih pada industri. Modal yang semula dialokasikan pada perdagangan dialihkan pada pembangunan industri. Pada masa itulah muncul Adam Smith (1776) yang menjadi peletak ideologi kapitalisme.

B. CIRI-CIRI SISTEM EKONOMI KAPITALIS

Ciri-ciri Sistem Ekonomi Kapitalis:

1. Penjaminan atas hak milik perseorangan

Hak milik pribadi adalah hal yang paling penting dalam kapitalisme. Setiap orang berhak menimbun kekayaan pribadi sebesar-besamya tanpa mengindahkan posisi orang lain yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama.

2. Mementingkan diri sendiri (self interest)

Karena menekankan individualisme, maka dalam Sistem Ekonomi Kapitalis setiap individu sepenuhnya dibebaskan berorientasi pada diri sendiri. Segala aktivitas ekonomi dan sosial yang dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan diri sendiri. Para kapitalis mempercayai kehadiran “tangan-tangan gaib” (invisible hands) yang akan mempertemukan setiap kepentingan individu tersebut dalam sebuah titik keseimbangan (equilibrium).

3. Pemberian kebebasan penuh

Paham liberalisme yang menjadi dasar pemikiran kapitalisme memungkinkan setiap pihak memiliki kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas ekonomi. Campur tangan negara dalam aktivitas ekonomi dibatasi hanya sebagai penyedia fasilitas dan pengatur lalu lintas sehingga semua orang dapat melakukan aktivitas ekonominya dengan lancar. Para kapitalis percaya jika setiap individu mendapatkan kepuasan maka akan tercipta kemakmuran dalam masyarakat (harmony of interest). Pemberian kebebasan kepada para pelaku ekonomi ini diyakini dapat diikuti dengan ketertiban dalam kehidupan karena ada “tangan-tangan gaib” yang membawa pada titik keseimbangan.

4. Persaingan bebas (free competition)

Dalam sistem kapitalis, persaingan antarpelaku ekonomi di masyarakat dimungkinkan. Persaingan dapat terjadi antarpenjual yang dapat memberikan kualitas terbaik kepada pembeli. Sebaliknya beberapa pembeli dapat saling bersaing untuk memberikan harga terbaik. Secara umum pasar diibaratkan sebagai pasar persaingan sempurna, yaitu situasi ketika posisi tawar masing-masing produsen dan konsumen seimbang, sehingga pembeli dan penjual tidak dapat menjadi penentu harga (price setter) tetapi hanya bertindak sebagai pengambil harga (price taker). Harga yang disepakati adalah harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

5. Harga sebagai penentu (price system)

Para kapitalis sangat percaya pada mekanisme pasar yang bekerja menentukan harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan barang dan jasa. Dalam kondisi apapun negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap pasar. Jika pada satu waktu penawaran berlebihan sehingga mengakibatkan merosotnya harga, maka negara diminta diam saja karena mekanisme pasar dengan sendirinya akan menentukan harga keseimbangan baru.

6. Peran negara minimal

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada Sistem Ekonomi kapitalis mekanisme pasarlah yang satu-satunya diyakini baik dan boleh bekerja di pasar. Oleh karena itu negara memiliki peran yang sangat minim. Negara hanya menjaga keamanan dan ketertiban, menetapkan hak-hak kekayaan pribadi, menjamin perjanjian kedua belah pihak ditaati, menjaga persaingan tanpa hambatan, mengeluarkan mata uang, dan menyelesaikan persengketaan pihak buruh dan pemilik modal.

Sistem Ekonomi Kapitalis memberikan kebebasan individu untuk berusaha mendapatkan kekayaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Kebebasan tersebut mendorong individu melakukan berbagai inovasi ekonomi dan teknologi yang mendorong kemajuan. Namun, kapitalisme membuat pihak yang tidak memiliki posisi tawar (modal) yang sama dengan pihak lain secara struktural tidak akan dapat bekerja dalam pasar, sehingga ia tidak dapat mencapai kemakmuran. Padahal posisi tawar yang tidak seimbang inilah yang banyak terjadi dalam kehidupan nyata.

Akibatnya terjadi monopoli, pasar hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Apabila monopoli terjadi maka terjadi ketimpangan kemakmuran. Pihak yang dapat bekerja di pasar akan mendapatkan kemakmuran yang besar sedangkan sebaliknya pihak yang “tersingkir” dari pasar tidak akan sejahtera. Jika semua orang berorientasi pada diri mereka sendiri, maka kepentingan publik akan terabaikan, misalnya pembangunan jembatan umum, rumah sakit, dan jalan raya tidak akan dilakukan karena dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi.

C. PERKEMBANGAN EKONOMI KAPITALIS NEOLIBERAL

Sistem Ekonomi Kapitalis yang muncul sejak abad ke-17 telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Jika sebelumnya sistem ekonomi bekerja di bawah lingkup negara (meskipun negara tidak diperbolehkan campur tangan) maka sekarang kapitalisme telah bergerak melampaui batas- batas wilayah negara.

Sistem Ekonomi Kapitalis-Neo Liberal sering kali ditandai dengan globalisasi. Awal tahun 1990-an arus pemikiran tentang globalisasi ekonomi mewarnai hampir seluruh dunia. Terminologi yang berkaitan dengan globalisasi ini, seperti negara tanpa batas, liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas, integrasi ekonomi dunia, dan sebagainya menjadi semacam dogma seolah itulah yang diyakini yang akan membawa dunia pada kemajuan ekonomi, hapusnya kemiskinan, serta mengecilnya kesenjangan antamegara. Upaya ke arah globalisasi ini sangat didukung negara-negara adikuasa ekonomi, yang memang sudah akrab dengan liberalisasi ekonomi berabad lebih awal dibanding negara berkembang.

Bonnie Setiawan (2000: 4) menyebutkan bahwa ekonomi kapitalis neoliberal mulai berkembang sejak diterapkan pemerintahan Tatcher di Inggris dan Reagan di AS. Doktrin pokok dari ekonomi Neoliberal Thatcher adalah paham kompetisi - kompetisi di antara negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu. 

Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi dalam pasar bebas pasti baik dan bijaksana. Kata thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk terus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalan keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yang tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan tetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada semua orang.

Hasilnya, di Inggeris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup dibawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari tiga anak dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk memperlemah kekuatan Serikat Buruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka Thatcher sekaligus memperlemah Serikat-Serikat Buruh di BUMN yang merupakan terkuat di Inggeris. 

Dari tahun 1979 sampai 1994, maka jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%). Pemerintah juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar pajak) untuk menghapus hutang dan merekapitalisasi BUMN sebelum dilempar ke pasar. Contohnya Perusahaan Air Minum (PAM) mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untuk membuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta.

Demikian pula di Amerika, kebijakan neo-Liberal Reagan telah membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang. Selama dekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini berkebalikan dengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke titik nadir, kehilangan pendapatan 15%. Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-Liberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO.

Tiga poin dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal. Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:

Poin-Poin Pokok Neo-Liberal

1. ATURAN PASAR

Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yangvdipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar- besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.

2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL

Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih - ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.

3. DEREGULASI

Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha.

4. PRIVATISASI

Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.

5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS. 

Masyarakat harus mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya (Setiawan, 2000: 3-5).

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:

1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen-komponen:

  1. Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; 
  2. Devaluasi; 
  3. Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk : pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.

2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: 

  1. Intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; 
  2. Privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; 
  3. Liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; 
  4. Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yanglebih luas dan longgar.

3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.

Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default (menyatakan tidak mampu membayar hutangnya). 

Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.

Menurut Wyane Ellwood, proses globalisasi sudah mulai sejak lima abad yang lalu (abad ke-16) dengan dimulainya era kolonialisme Eropa. Perkembangan mutakhir adalah munculnya integrasi kawasan Asia Pasifik melalui dibentuknya Asia-Pacific Economic Forum (APEC) yang dimotori negara-negara seperti Australia, Amerika, dan Kanada. 

Kemudian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1995 diperluas menjadi General Agreement on Trade and Service (GATS) dan dibentuk organisasi yang kini dikenal dengan World Trade Organization (WTO). WTO didasari pada asumsi bahwa perdagangan bebas dunia akan meningkatkan perdagangan dunia. Berbagai perangkat organisasi ekonomi dunia itu diharapkan akan membantu percepatan perwujudan globalisasi untuk mengangkat kemakmuran dunia.

Namun di penghujung tahun 1990-an gerakan berlawanan arah dengan kecenderungan globalisasi justru yang menguat. Globalisasi kini terus digugat banyak negara. Impian untuk percepatan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemelaratan ternyata tidak mewujud. 

Situasi yang ada justru melahirkan keadaan sebaliknya, dan ketimpangan negara kaya-miskin dinilai makin membesar. Perusahaan besar dan negara kaya mengambil untung lebih besar dari globalisasi ekonomi tersebut. Diperkirakan 25 persen perdagangan dunia berlangsung dalam perusahaan global atau intra-company trade. 

Porsi yang sama juga terjadi antara negara maju yang tergabung dalam European Community (EC) dan NAFTA. Hanya sebagian kecil dari perdagangan dunia ini yang bisa dinikmati negara-negara berkembang. Hal yang sama juga terjadi dalam liberalisasi finansial, yang dikendalikan oleh lembaga keuangan internasional serta dikomando negara-negara adikuasa ekonomi dan pemilik modal di pasar uang dunia.

D. SISTEM KAPITALIS-NEOLIBERAL DI INDONESIA

Indonesia sesungguhnya turut terjerat dalam Sistem Ekonomi Kapitalis- Neo Liberal ini. Melalui kerangka peminjaman utang luar negeri untuk membiayai pembangunan, Indonesia terjebak dalam siklus pembayaran utang yang tiada habisnya. Korporasi (asing) atau modal internasional juga makin mendominasi perekonomian Indonesia melalui penguasaannya terhadap aset strategis, cabang produksi (BUMN), dan industri dari sektor hulu dampai dengan hilir. Di lain pihak, dengan dalih bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mendatangkan keuntungan dari perdagangan dunia, Indonesia justru dibebani dengan berbagai peraturan yang justru merugikan kepentingan nasional, semisal penghapusan tarif, subsidi, dan larangan proteksi ekonomi domestik, yang sebenarnya dilakukan sendiri oleh pemerintah negara maju.

Situasi ini memaksa Indonesia menemukan sistem ekonomi yang mampu menghadapi tantangan penjajahan ekonomi ini. Untuk memudahkan dan memperkaya pemahaman Anda perihal sistem ekonomi kapitalis neoliberal, di mana esensinya adalah dominasi peranan korporasi (swasta), marginalisasi peran negara dan rakyat, diberikan ilustrasi dengan kasus ekonomi neoliberal berupa kebijakan liberalisasi migas di Indonesia sebagai berikut:

Ilustrasi Kebijakan Berbasis Ekonomi Kapitalis-Neoliberal

(Studi Kasus Liberalisasi Migas di Indonesia)

Kenaikan harga BBM rata-rata 130% telah memperpuruk ekonomi rakyat. Industri kecil terancam bangkrut, nelayan banyak yang tak lagi mampu melaut, belum lagi harga kebutuhan pokok yang melonjak tak terkendali. Beban hidup makin sulit. Seolah penderitaan belum akan lekas berlalu dari hari-hari rakyat kecil. Di tengah itu semua, iklan persuasif bahwa hal itu demi rakyat kecil terus saja dikampanyekan pemerintah. Begitu kontras dengan kenyataannya. Apalah daya, harapan begitu besar tergantung di pundak pemimpin mereka, namun yang tersisa hanyalah janji-janji yang tidak terbukti.

Dana kompensasi pun tak banyak membantu rakyat kecil. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi warga miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Belum rasa saling curiga, iri hati, permusuhan yang timbul karena distribusinya yang dianggap tidak adil. Terlebih kronisme masih mewarnai pola ini di mana PNS golongan III, warga ber-HP, bermotor bagus, dan berrumah “mewah” pun mendapat bagian. Pola ini telah menghancurkan solidaritas dan kohesivitas sosial antarwarga (miskin).

Pola subsidi tunai yang mengacu sistem jaminan sosial negara maju ini jelas tidak relevan dipakai di negara kita. Pemerintah negara maju relatif mudah memetakan dan mengkategorikan siapa yang bakal mendapat subsidi tunai, terutama kaum pengangguran yang pasti miskin. Di negara kita berlaku sebaliknya. Selain jumlah keluarga miskin yang terlalu banyak, “penampakan” kemiskinan yang ada pun begitu kompleks, penuh dengan kriteria yang bervariasi. Alhasil, pola yang sangat dipaksakan ini meyakinkan kepada kita bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh membantu rakyat miskin.

Pemiskinan ‘ala Liberalisasi?

Kondisi itu hanyalah awal dari proses pemiskinan dalam jangka ke depannya. Naiknya harga BBM hanyalah “pintu masuk” bagi proses liberalisasi yang arusnya audah demikian kuat pasca keluarnya UU No 22/2001. Liberalisasi ditandai dengan empat alur yang tengah berlangsung, yaitu diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar, dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Bagian terakhir inilah yang paling krusial. Saat ini sudah ada 179 korporat swasta asing dan domestik yang menuntaskan perijinan bisnis mereka.

Dalih-dalih pembenar kenaikan harga BBM apapun ditempuh, sebesar- besar agar liberalisasi segera dijalankan. Korporat migas sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis yang sangat menjanjikan ini. Tak lama lagi harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). Kira-kira ungkapannya adalah "kalau nggak sanggup beli gas, ya ngga usah beli”. BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat, seperti halnya BBM dipersepsikan, akan selalu dianggap salah sasaran.

Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli minyak tanah, bensin, ataupun solar. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, bukankah orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki? Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Apakah ini semua juga “subsidi” yang salah sasaran? Dengan logika barang publik tentu tidak dapat dianggap begitu. Yang membedakan adalah dalam besaran pajak yang harus mereka bayar. Di negara maju pun pendidikan dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya sudah sangat kaya, bukan?).

“Privatisasi” BBM memang sejalan dengan “privatisasi” di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sehingga pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, dan tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) pada kepentingan bangsa (nasional).

Liberalisasi migas tak pelak menguntungkan pemodal besar, utamanya korporat migas asing. Mereka ini lah yang mampu mengesplorasi, mengolah, dan menjual migas karena daya dukung finansial dan teknologi yang mereka kuasai. Dengan daya dukung itu pulalah mereka mampu bersaing secara bebas dan menguasai pasar domestik dan internasional, seperti halnya yang terjadi di Thailand dan Malaysia di mana korporat ini berperan besar (dominan) dalam sektor hilir migasnya. Pada tahun 2000/2001, perusahaan nasional migas di Malaysia yang kapasitas produksinya hanya seperempat kapasitas produksi Indonesia hanya menguasai 35% pasar hilir migas, sedang 64%-nya dikuasai korporat asing Pasar hilir migas Thailand pun hanya 23% yang dikuasai perusahaan nasional, sementara sebagian besar dikuasai korporat asing dan domestik.

Tak ayal liberalisasi migas makin mendorong terkonsentrasinya penguasaan faktor-faktor produksi (dan pasar) ke tangan pihak asing dan lapis atas korporat domestik. Di saat yang sama, ketergantungan kita akan modal asing dan barang (termasuk BBM) impor pun makin besar. Dalam pada itu, menjadi paradoksal (non-sense) bicara memberdayakan rakyat kecil (miskin) ketika mereka makin dijauhkan dari (penguasaan) basis-basis produksi nasional. Paling banter mereka hanya akan diberi sedikit cipratan (kompensasi liberalisasi) yang tidak akan mengubah kondisi kemiskinan mereka karena dengan segera harus “dikembalikan” untuk membiayai hidup yang makin mahal. Alih-alih menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional, pemerintah makin tidak mampu lagi melindungi hak-hak sosial- ekonomi rakyatnya. Pemerintah makin tersandera oleh kebijakan-kebijakan neoliberal yang penuh dengan tekanan dan paksaan ini.

Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Bukankah pembukaan puluhan ribu SPBU baru justru makin berpotensi menguras cadangan minyak nasional? Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu bagaimana dengan slogan gerakan hemat energi nasional? Bagaimana pula dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi alternatif? Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya.

Demikian tipikal agen liberalisasi migas yang digerakkan oleh ruh (semangat) yang dari dulu hingga kini masih sama, yaitu individualisme (self-interest) dan liberalisme (bersaing buas). Pada dasarnya mereka abai dengan nasib rakyat kecil. Ingatlah betapa pahitnya liberalisasi (kebablasan) modal asing, perbankan, nilai tukar, rezim devisa, dan pertanian yang tidak mengangkat harkat dan martabat bangsa. Kini justru kita masih terpuruk dalam kubangan utang dan begitu tergantung pada lembaga luar negeri. Betapa rakyat kecil kita pun belum beranjak dari jerat kemiskinan setelah 60 tahun merdeka. Liberalisasi, baik di era sentralisasi (Orba) maupun era demokrasi rupanya tetap menjadi pil pahit yang harus ditelan rakyat kecil (miskin), yang kemudian tidak beranjak taraf kehidupannya. Mereka tetap saja terpuruk dalam kemiskinan.

Bukti Untuk Rakyat Kecil?

Jika benar-benar berpihak pada rakyat kecil, mestinya pemerintah memikirkan (dan memperjuangkan) cara alternatif selain meliberalisasi migas. Sayangnya, selama ini pemerintah terkesan menutup mata terhadap ide alternatif semisal kemungkinan penghapusan (pengurangan) utang (dalam dan luar negeri) yang setiap tahunnya menguras APBN sebanyak Rp 125 trilyun. Padahal, ttersedia argumentasi logis untuk itu, misalnya saja, bahwa angsuran yang kita bayar sebenarnya sudah melebihi nilai utang yang kita ambil, utang dikorup (odious debt), bencana alam, dan khusus untuk utang dalam negeri, sebenarnya bank-bank itu pun tidak pantas lagi disubsidi. Bukankah itu semua bisa dilakukan demi pendidikan, kesehatan, dan kepentingan rakyat banyak lainnya? Bukankah nilai tunai penhematan subsidi dari kenaikan BBM rata-rata 130% kemarin hanya Rp 12 trilyun atau sepersepuluh dari beban utang tersebut?

Bukankah pula data-data pemerintah dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia. Surplus transaksi ekspor- impor migas Indonesia tahun 2004 hanya 6,5 milyar dollar AS, kemudian meningkat menjadi 9,8 milyar dollar AS pada tahun 2005. Demikian halnya, surplus penerimaan minyak terhadap subsidi BBM mencapai Rp 12,8 trilyun. Sedangkan tahun 2005d (APBN-P 1 2005), mencapai Rp9,0 trilyun. Lalu mengapa subsidi BBM yang selalu dituding memperberat beban anggaran? Kemana perginya windfall profit itu? Pemerintah terkesan enggan berbicara terbuka perihal agenda liberalisasi yang akan mengubah wajah perekonomian nasional ini.

Kegagalan pemerintah (government failure) dan Pertamina dalam melakukan efisiensi bisnis migas tentu tidak dapat dijadikan alasan pengalihan wewenang yang terlampau besar ke korporat swasta atau pasar. Bukankah di dalam pasar sendiri inherent adanya kegagalan pasar (market failure), misalnya dalam mengalokasikan barang secara adil, eksternalitas, bias pemodal besar, abai dengan ketimpangan, dan sebagainya? Alih-alih menggusur sentralisasi dengan liberalisasi, pemerintah seharusnya konsisten menegakkan amanah konstitusi untuk melakukan demokratisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi-lah alternatif kongkret selain melakukan liberalisasi atau privatisasi terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. BUMN, termasuk Pertamina pun bisa saja di-demokratisasi.

Demokratisasi ekonomi menuntut partisipasi luas masyarakat dalam menguasai dan terlibat dalam proses produksi nasional. Masyarakat, melalui kekuatan kolektif seperti koperasi, serikat pekerja, lembaga konsumen, dan organisasi ekonomi rakyat (warga miskin) lainnya didorong dan difasilitasi untuk dapat memiliki saham BUMN. Dengan begitu, mereka akan berperan aktif dalam ikut mengawasi jalannya BUMN yang kemudian harus mengoptimalkan kinerjanya. Demikian pula, melalui organisasi kolektif tersebut, mereka difasilitasi untuk memiliki saham Pertamina, berandil dalam memiliki dan mengelola SPBU, sehingga ikut terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan distribusi migas nasional. Tentu butuh perencanaan dan kerja keras semua pihak. Tapi bukan hal yang mustahil jika pemerintah serius berkomitmen dan berpihak pada rakyat kecil, serta istiqomah dalam mengemban amanah demokrasi ekonomi.

Kini tak mudah membendung arus liberalisasi yang demikian derasnya. Tapi pemerintah masih mempunyai waktu untuk mengkaji kembali kebijakannya, setidaknya dengan meninjau kembali kenaikan harga BBM, perijinan korporat migas, dan meninjau substansi UU No 22/2001 itu sendiri. Paradigma baru perlu dibangun di atas perspektif kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional jangka panjang. Sembari itu, konsolidasi gerakan pro¬demokrasi ekonomi merupakan agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Masa depan dan nasib kita harus kita rancang sendiri, tak perlu digantungkan pada pihak lain, apalagi terjebak pada ilusi-ilusi liberalisasi. Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri? (sumber: Awan Santosa, SE, dikutip dari awansantosa.com)

Gambaran yang lebih mendalam bagaimana korporasi swasta justru lebih berkuasa dalam mengendalikan jalannya perekonomian, yang merupakan ciri sistem ekonomi kapitalis neoliberal, bahkan bila perlu dengan merugikan rakyat (karena korporasi lah yang disubsidi besar, bukan rakyat banyak) banyak dapat disimak dari ilustrasi kedua perihal perbankan yang bersifat kapitalistik-neoliberal di Indonesia berikut ini:

Ilustrasi Tatanan Kapitalis Liberal di Sektor Perbankan

MENGGUGAT SISTEM PERBANKAN KAPITALIS

Mubyarto dan Awan Santosa

Bank-bank nasional pasca krismon 1997/98 praktis hidup dengan subsidi. Nilainya pun sungguh fantastis, BLBI sebesar Rp 145 trilyun, program penjaminan (blanket guarantee) sebesar Rp 74 trilyun, dan yang paling spektakuler karena membebani APBN kita sampai hari ini adalah obligasi rekapitalisasi (OR) dan bunganya yang masing-masing sebesar Rp 430 trilyun dan Rp 600 trilyun! Tiap tahun pemerintah harus membayar bunga OR setidaknya Rp 60-70 trilyun. Pemerintah telah “tersandera” karena memberikan “privelege” kepada pelaku-pelaku ekonomi (konglomerat) perbankan yang dianggap memiliki “kartu As” hancur-pulihnya ekonomi nasional. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal pemodal besar (perbankan) dianggap sebagai sokoguru perekonomian nasional, sehingga dalam kondisi krisis harus diselamatkan, at any cost! Dan aktor di balik penggelontoran subsidi ini adalah IMF, yang menjadikannya syarat pencairan bantuan senilai US $ 9 milyar.

Tokh kebijakan tersebut sudah telanjur dibuat. Lagi pula suara-suara kritis yang menawarkan alternatif pengelolaan OR tidak pernah digubris. Namun alangkah lucunya ketika pemerintah kemudian berupaya mencabut subsidi BBM dan pupuk (ZA dan SP-36). Padahal nilai subsidi kedua komoditi ini jauh di bawah subsidi OR. Subsidi BBM turun dari Rp 41,3 trilyun pada tahun 2001 mejadi Rp 30,3 trilyun di tahun 2002 dan Rp 13,5 trilyun pada tahun 2003. Di sisi lain subsidi non BBM (mestinya plus kompensasi BBM) justru turun dari sebesar Rp 12,6 pada tahun 2002 menjadi hanya sebesar Rp 11,7 pada tahun 2003. Bahkan subsidi terhadap kedua jenis pupuk tersebut hanyalah sebesar Rp 400 milyar! Apa artinya? Jelas bahwa pemberlakukan atau pencabutan kebijakan subsidi (proteksi) tidak dibuat berdasar nalar teoritis (keilmuan), melainkan atas dasar kepentingan semata. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal kepentingan pihak yang kuatlah yang akan selalu dimenangkan! Liberalisasi atau pasar bebas memang hanya omong kosong yang prakteknya tergantung kepentingan.

Kini kiranya makin sulit mengganggu gugat ratusan trlyun subsidi ke perbankan. Namun yang harus terus digugat adalah “kesadaran subsidi” dari para pengelola bank-bank rekap. Bahwa ada unsur “uang rakyat” yang sangat besar (bahkan dominan) dalam operasional bisnis mereka, bahkan sangat berpengaruh dalam menentukan laba/rugi bank mereka. Patut dicatat bahwa empat tahun pasca rekapitalisasi bank-bank tersebut nilai labanya disebabkan karena bunga obligasi yang diterima dari setoran pemerintah. Total bunga OR yang diterima 10 bank rekap papan atas per 31 Desember 2002 adalah sebesar Rp 36,1 trilyun, sedangkan laba yang dicetak adalah sebesar Rp 17,8 trilyun, sehingga secara “riil” bank-bank tersebut merugi sebesar Rp 18,4 trilyun (Kwik Kian Gie, 2003). Logikanya perbankan tidak seharusnya bertumpu lagi pada agenda-agenda liberalisasi keuangan/perbankan (pilar sistem ekonomi kapitalis-liberal) karena adanya ‘kontradiksi in terminis” (politik subsidi/proteksi) tersebut.

Moralitas Bank Bersubsidi

Bangsa ini memiliki pengalaman yang buruk perihal moral pelaku perbankan yang tidak bertanggungjawab. Jangankan memiliki “kesadaran disubsidi”, mereka sama sekali tak tahu diuntung, bahkan berusaha mengambil untung di tengah defisit keuangan pemerintah. Dana BLBI yang disimpangkan (mark-up, manipulasi, dan kolusi) jumlahnya sangat menyakitkan rakyat, yaitu diindikasikan sebesar Rp 138 trilyun atau 96% dari total bantuan (Baswir, 2004). Setelah itu pemerintah justru membebaskan mereka (Release and Discharge) dengan pengembalian dana yang tidak signifikan. Mereka benar-benar homo economicus yang motivasinya meraup untung sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan moral dan etika. Rasionalitas keserakahan inilah yang membentuk perilaku bankir-bankir jahat di Indonesia.

Subsidi yang diterima dari pemerintah (uang rakyat) bukannya digunakan sebesar-besar untuk penyaluran kredit ke ekonomi rakyat, melainkan justru diamankan dan diakumulasikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Mereka menerapkan “aji mumpung” (moral hazard) untuk mendapatkan marjin setinggi-tingginya agar dapat menurunkan laba kumulatif yang negatif pasca krisis (Rochadi, 2004). Patut dicatat bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia (sekitar 8,5%) merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, bahkan NIM di Malaysia tidak lebih dari satu persen. Berdasar kajian Biro Riset InfoBank keuntungan perbankan nasional tahun 2004 merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di lantai bursa, saham perbankan terus diburu karena mampu memberikan gain sebesar 60% per tahun (Kompas, 29-10-2004). Jelas bahwa subsidi ke perbankan telah dinikmati oleh investor (pemilik modal) di bank-bank tersebut tanpa perlu bekerja esktra keras. Bambang Sudibyo (2002) menyebut bahwa perekonomian berjalan karena riba, yaitu bunga obligasi senilai Rp 5 trilyun/bulan dan bunga SBI sekitar 12,6%/tahun.

Kesadaran disubsidi telah dikalahkan oleh image perbankan yang identik dengan “kemewahan”. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara-acara (pesta), bantuan-bantuan, undian berhadiah milyaran, dan yang jelas menggaji top manajemen dengan nilai yang sangat tinggi. Sementara itu, pimpinan-pimpinan bank bertingkah dan masih sombong seolah-olah telah mampu membukukan laba spektakuler atas jerih payah mereka sendiri (Kwik Kian Gie, 2003). Apakah memang tidak terpikirkan bahwa subsidi yang mereka terima diikuti dengan pengorbanan pada bidang-bidang lain (termasuk pertahanan nasional), sekaligus menghambat alokasi subsidi kepada penduduk miskin secara langsung dan memadai? Mereka ini harus sabar menunggu sekedar untuk memastikan diperolehnya alokasi dana 8,5 trilyun, yang itu pun belum tentu tepat sasaran kepada mereka. Sungguh tidak mencerminkan rasa keadilan. Perilaku bankir- bankir jahat tak ubahnya seperti “vampir” yang terus menerus menyedot darah dan tubuh perekonomian Indonesia (Faisal Basri, 2003).

Bank dan Pemerataan Pembangunan

Peran bank secara konvensional adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediatory), lalu lintas pembayaran, dan sebagai alat (instrumen) kebijakan moneter. Dalam kontek bank pasca krisis (tersubsidi) di Indonesia mestinya peranan bank lebih dari sekedar peran konvensinal tersebut. Peranan perbankan tidak cukup sekedar sebagai agen pembangunan (agent of development), melainkan harus mampu menjadi agen pemerataan pembangunan (agent of development equity) atau agen redistribusi pendapatan/kekayaan/aset (agent of income/asset/wealth redistribution). Hal ini masuk akal mengingat peluang pembangunan di bidang, wilayah, dan kelompok sasaran tertentu (rakyat miskin/ekonomi rakyat) telah terpinggirkan karena alokasi sumber daya keuangan kepada sektor perbankan, yang turut melanggengkan ketimpangan struktural terutama antara si kaya dan si miskin, antarsektor ekonomi, bahkan antardaerah di Indonesia.

Sayangnya, fungsi bank sebagai perantara keuangan pun belum dijalankan secara maksimal. Meskipun tiap tahun nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan selalu mengalami kenaikan (2000 : 33,2%, 2001 : 38,0%, 2002 : 43,2%, 2003 : 48,3%, dan 2004 : 55,3%), namun tetap saja nilanya jauh di bawah LDR bank di Singapura dan Malaysia yang masing-masing sebesar 80% dan 100%. Pulihnya kepercayaan terhadap perbankan justru terus mendorong kelebihan likuiditas (excess reserve) yang terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia dan surat-surat berharga, dengan nilai mencapai Rp 460,9 trilyun atau sekitar 52% dari total dana pihak ketiga yang berjumlah sekitar Rp 800 trilyun (Rochadi, 2004).

Turunnya suku bunga deposito tidak serta merta diikuti penurunan suku bunga kredit, sehingga bank-bank menikmati spread (marjin keuntungan) yang sangat besar. Pihak bank beralasan bahwa pada tahun 2003 saja ada beberapa debitor yang belum menarik komitmen kredit yang sudah disetujui bank sebesar Rp 102,9 trilyun. Nilai kredit yang besar mengindikasikan bahwa debitor tersebut pastilah perusahaan kelas kakap yang masih dapat menunggu dan melihat situasi perekonomian. Berbeda dengan pelaku ekonomi rakyat yang jika mengajukan kredit pastilah dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan. Data ini makin menunjukkan pentingnya perhatian bank terhadap pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) ketimbang kepada pengusaha besar yang terbukti lebih berisiko. Komitmen perbankan untuk mengembangkan microcredit hendaknya tidak berhenti di tataran jargon semata.

Kredit yang dialokasikan kepada usaha kecil (KUK) per Maret 2003 sebesar Rp 62,1 trilyun atau 16,5% dari total kredit sebesar Rp 376,1 trilyun, yang sebagian besar disalurkan oleh bank-bank BUMN (Anshoriy, 2004). Sistem intermediasi perbankan mengandung berbagai kontradiksi. Masyarakat harus percaya sepenuhnya terhadap perbankan, sedangkan bank menerapkan yang sebaliknya, sama sekali tidak mempercayai masyarakat, khususnya pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin). Watak bisnis adalah keberanian (kemauan) menanggung resiko, yang pasti ada dalam setiap kegiatan usaha, sedangkan bank berbisnis tanpa mau mengambil resiko, sungguh ironis. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pihak yang seringkali tidak bertanggungjawab (tidak layak dipercaya) adalah internal bank itu sendiri. Ingatlah kembali insider lending bank pra-krisis, kejahatan BLBI, L/C fiktif, pembobolan BNI, BRI, Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan terakhir Bank Persyarikatan Indonesia. Apakah itu melunturkan kepercayaan masyarakat?

Ketidakpercayaan bank terhadap kemampuan ekonomi rakyat dikukuhkan secara sistematis melalui pembuatan aturan-aturan yang meyulitkan akses mereka terhadap bank (agunan, prosedural, suku bunga tinggi). Ini merupakan cerminan ketidakpercayaan diri mereka sendiri, selain juga iktikad untuk terus membohongi diri. Bank-bank paham betul bahwa kredit macet bukan bersumber dari pelaku ekonomi rakyat, yang aksesnya saja sudah disumbat. Mereka terus saja tidak mengakui bahwa tidak ada data- data valid yang menunjukkan budaya ngemplang pelaku ekonomi rakyat. 

Kenyataan ini adalah bukti adanya kontradiksi dan diskriminasi perbankan yang memang menjadi ciri perbankan kapitalis-liberal, yang berdasar pada mekanisme pasar. Dalam hal ini termasuk penentuan suku bunga kredit mikro yang disamakan dengan suku bunga pasar. Seperti diuraikan di awal, pasar bekerja sesuai kepentingan kekuatan ekonomi, bukannya atas dasar pertimbangan teoritik yang dapat dipertanggungjawabkan. Kekuatan inilah yang menentukan kapan dan kapada siapa mekanisme pasar diberlakukan, demikian sebaliknya.

Sistem perbankan saat ini sulit diharapkan membuat bank-bank memerankan diri sebagai agen pemerataan pembangunan. Bahkan dapat berfungsi sebaliknya, bank hanyalah “sahabat bagi orang kaya” (Mubyarto, 2004), yaitu deposan-deposan dan debitur konglomerat yang memang menguasai pasar, sehingga makin mengukuhkan ketimpangan pembangunan di Indonesia. Sistem perbankan cenderung “menyedot” sumber daya keuangan daerah ke pusat-pusat ekonomi dan bisnis di Jakarta. Bank-bank di daerah pada umumnya difungsikan sebagai cabang dari bank pusat, sehingga tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan pembangunan di tingkat lokal. Pembangunan ekonomi dalam pola ini makin memperlebar jurang ketimpangan antardaerah, antar sektor ekonomi, dan antarpelaku ekonomi.

Aliran uang akan diikuti oleh aliran manusia. Demikian yang terjadi pada maraknya urbanisasi ke kota-kota besar (termasuk memilih bekerja ke luar negeri) yang menimbulkan komplikasi masalah sosial-politik. Uang yang dikelola bank lokal tidaklah memadai untuk membiayai pembangunan lokal (perdesaan) karena sebagian besar telah dikirim ke ibu kota propinsi atau ke Jakarta untuk membiayai investasi pengusaha besar dan disimpan dalam bentuk SBI. Sebuah paradok ketika terjadi antrean pengajuan modal ke bank- bank lokal atau ke lembaga-lembaga keuangan non bank, sementara dana Rp 460,9 trilyun menumpuk di SBI dan surat berharga lainnya. Fungsi bank sebagai agen pemerataan pembangunan hanya dapat dioptimalkan jika pola aliran uang ke pusat-pusat bisnis ini dihentikan melalui pengembangan bank- bank lokal (bank unit, bukan cabang). Bank lokal memiliki informasi dalam tataran lokal dan lebih dapat berperan sebagai subjek yang mengarahkan tujuan-tujuan pembangunan (Stigltz, 2004).

Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah- hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya- upaya besar pemberantasan kemiskinan.

Dari analisis tersebut bisa dibuktikan bahwa alasan pokoknya adalah karena sistem ekonomi kapitalis-liberal/neoliberal sudah dijadikan pegangan pokok pemerintah pusat/ daerah yang diterapkan di mana-mana di seluruh Indonesia. Dalam sistem ekonomi kapitalis, para pemilik modal (kapitalis) merupakan pihak yang paling dipuja dan dihormati, yang kepentingannya paling dilindungi. Dari sinilah berkembang kepercayaan perlunya penciptaan iklim merangsang agar para pemodal (investor) asing bersedia datang ke Indonesia atau ke daerah-daerah tertentu untuk menanamkan modalnya.

Sebenarnya segera dapat dikenali satu kontradiksi. Jika suatu daerah berusaha menarik investor, yaitu mereka yang memiliki modal, mengapa modal yang terhimpun di bank dari orang-orang kaya setempat malah dikirim keluar daerah, dan justru tidak diputarkan atau ditanamkan dalam usaha- usaha setempat. Fenomena kontradiktif ini sampai kapan pun tetap tidak akan berubah, kecuali jika kita berani mengubah sistem ekonomi kita dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Pancasila. Dalam sistem ekonomi Pancasila kebijakan perbankan tidak diarahkan untuk melindungi para pemilik modal secara berlebihan tetapi harus diubah menjadi upaya total pemberdayaan ekonomi rakyat dengan ukuran hasil akhir makin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Sumber: Mubyarto dan Awan Santosa, dalam Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Sosial, Aditya Media, 2005)

Kesimpulan Tentang Sistem-Ekonomi-Kapitalis

Pemikiran-pemikiran liberalisme, rasionalisme, materialisme, dan humanisme menjadi dasar Sistem Ekonomi Kapitalis. Pemikiran liberalisme meletakkan kebebasan individu sebagai hal yang paling utama. Rasionalisme mengajarkan bahwa peranan rasio (pikiran) lebih penting daripada perasaan. Materialisme adalah paham yang menyatakan bahwa hakikat kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris, yaitu diraba, didengar, dan dirasa. Sementara itu humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa bagi manusia yang penting adalah kehidupan di dunia ini, hidup sesudahnya di luar jangkauan manusia sehingga tidak perlu dipikirkan

Ciri-ciri Sistem Ekonomi Kapitalis adalah adanya penjaminan atas hak milik perseorangan, mementingkan diri sendiri (self interest), pemberian kebebasan penuh, persaingan bebas (free competition), harga sebagai penentu (price system), dan peran negara minimal. Tiga poin dasar ekonomi kapitalis neo-Liberal dalam multilateral adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo- Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya.

Poin-poin pokok neo-Liberal adalah meliputi aturan pasar, memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial, deregulasi, privatisasi BUMN, dan menghapus konsep barang-barang publik (public goods') atau komunitas. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:

1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen- komponen:

  • Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; 
  • Devaluasi; 
  • Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.

2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: 

  • Intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; 
  • Privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; 
  • Liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; 
  • Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yanglebih luas dan longgar.

3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.

Indonesia turut terjerat dalam Sistem Ekonomi Kapitalis-Neo Liberal melalui kerangka peminjaman utang luar negeri yang membuat Indonesia terjebak dalam siklus pembayaran utang yang tiada habisnya. Korporasi (asing) atau modal internasional juga makin mendominasi perekonomian 

Indonesia melalui penguasaannya terhadap aset strategis, cabang produksi (BUMN), dan industri dari sektor hulu dampai dengan hilir. Di lain pihak, WTO memaksa Indonesia dengan berbagai peraturan yang justru merugikan kepentingan nasional, semisal penghapusan tarif, subsidi, dan laranagn proteksi ekonomi domestik, yang sebenarnya dilakukan sendiri oleh pemerintah negara maju.

Daftra Link Pembahasan-Sistem-Ekonomi Terbaru

Berikut ini adalah link artikel terkait Sistem Ekonomi, silahkan anda lihat dengan mengklik link dibawah sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan judul yang anda cari.
  1. Daftar Pembahasan Sistem Ekonomi Paling Terkenal-Terbaik dan Terpopuler
  2. Sistem Ekonomi Pancasila, Pengertian, Landasan, Prinsip, Konsep dan Demokratisasi
  3. Sistem Ekonomi Indonesia, Warisan Kolonial, Era, Reformasi dan Agendanya
  4. Sistem Ekonomi Dualistik, Teori, Ciri, Dualisme, Krisis dan Kesimpulannya
  5. Sistem Ekonomi Campuran dan Ekonomi_Islam, Pengertian, Pengembang, Sejarah, Hubungan dan Modelnya
  6. Sistem Ekonomi Sosialis_Pasar |Konsep Dasar dan Kesimpulannya
  7. Sistem Ekonomi Sosialis, Pengertian, Sejarah, Konsep, Perkembangan dan Ciri_Cirinya
  8. Globalisasi Ekonomi dan Kapitalisme Global, Pengertian, Konsep dan Perkembangannya
  9. Sistem Ekonomi Kapitalis, Filosofi, Ciri, dan Perkembangannya
  10. Sistem Ekonomi Keadilan Sosial, Pengertian, Konsep, Prinsip dan Etika
  11. Sistem Ekonomi Kebijakan Publik, Pengertian, Ilustrasi, Pengaruh dan Peranan Pemerintah
  12. Mekanisme Kerja Sistem Ekonomi |Pelaku, Pola Hubungan, Kolonial Indonesia dan Struktur Sosial
  13. Konsep Dasar Sistem Ekonomi |Pengertian, Mekanisme, Pendekatan, Bentuk dan Model

Posting Komentar untuk "Sistem Ekonomi Kapitalis, Filosofi, Ciri, dan Perkembangannya"