Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sistem Ekonomi Keadilan Sosial, Pengertian, Konsep, Prinsip dan Etika

CELOTEHPRAJA.COM Salah satu tujuan universal pembangunan di dunia adalah terwujudnya keadilan sosial. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan manusia secara keseluruhan pun memiliki tujuan selain untuk meningkatkan efisiensi adalah juga mencapai keadilan sosial di antara pelaku ekonomi. 

Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa fundamental ekonomi terdiri dari dua sisi yang tidak sama namun sekaligus tidak dapat dipisahkan, yaitu efisiensi dan keadilan. Dengan begitu aspek keadilan menjadi bagian integral di dalam perencanaan dan pembangunan ekonomi. Hal inilah yang mendasari eratnya keterkaitan antara sistem ekonomi dan keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan perspektif dan arahan yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan (pemilihan) sistem ekonomi tertentu.

Tambunan (2006: 1) berpandangan bahwa kelangkaan selalu muncul dalam ekonomi (atau dalam kehidupan manusia secara umum), sehingga kekayaan atau kepemilikan barang dan jasa tidak pernah bisa dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah apabila barang dan jasa atau sumber daya yang ada berlimpah hingga tidak ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau apabila di suatu wilayah yang sangat luas dan sangat kaya akan sumber daya alam hanya ada segelintir manusia. Semakin langka barang dan jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin besar masalah distribusi, yang berarti semakin besar masalah keadilan di dalam ekonomi.

Sistem Ekonomi Keadilan Sosial, Pengertian, Konsep, Prinsip dan Etika
Sistem Ekonomi Keadilan Sosial

Konsepsi Keadilan Sosial

Keadilan juga merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000: 85) sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan. Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika bisnis, karena bisnis adalah kegiatan ekonomi. 

Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang bagus adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan paling besar. Namun, etika bisnis menjadi relevan pada saat bisnis dinilai dari sudut pandang moral. Misalnya, demi mengejar keuntungan sebesar mungkin, sebuah perusahaan membayar upah sangat murah kepada pekerja-pekerjanya, atau agar produktivitas dapat ditingkatkan perusahaan tersebut mengganti tenaga manusia dengan mesin atau robot sehingga mem-phk-kan semua buruhnya (Tambunan, 2006: 2).

Menurut Bertens (2000: 93-94), keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di mana tidak ada masalah keadilan sosial.

Keadilan Dalam Teori Dan Sistem Ekonomi

Wahono (2005: 1) mengungkapkan bahwa arus dominan dalam pemikiran dan kebijakan pada saat-saat ini, bila orang berbicara mengenai ekonomi berkeadilan, orang memakai paradigma ekonomi aliran Neo- Classic, dimana kegiatan ekonomi diringkas hanya dalam dua bagian, yakni “produksi dan konsumsi.” Padahal babon Neoclassic, yakni Aliran Klasik, sampai pada John Stuart Mill, masih menambahkan satu rangkaian proses berekonomi, yakni “distribusi”. Alfred Marshall dan kemudian aliran Marginalis yang kemudian membuang sama sekali “distribusi”.

Sampai sekarang ini, ada salah kaprah, dosa membuang “distribusi” dilemparkan pada Adam Smith. Tidak benar. Dalam volume buku lengkapnya, Adam Smith masih berbicara mengenai akibat dari permainan “the hidden hands”, tangan tersembunyi, semangat mengapai kepentingan sendiri, dalam arena pasar bebas, yakni terpinggirkannya sebagian besar masyarakat yang tidak bermodal dan tidak berketerampilan. “Korban” dari pasar bebas inilah yang oleh Adam Smith masih diusulkan agar dilindungi oleh “hukum untuk orang miskin”, kalau bukan lewat campur tangan pemerintah juga lewat lembaga-lembaga Gereja. Memang usulan Adam Smith tidak berbeda dengan cara kerja Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Misalnya dengan program penyesuaian struktural, atau SAP (Structural Adjustment Program), atau pengetatan ikat pinggang, atau yang dikenal sebagai Lol (Letter of Intent).

Wahono (ibid: 2) menambahkan bahwa fakta terjadinya ketidakadilan dan pemiskinan diakui oleh para pendukung ekonomi klasik. Aliran ekonomi neo-klasik, yang tentunya diikuti oleh Hayek maupun Milton Friedman secara puritan, sama sekali menyerahkan mekanisme keadilan pada pasar.

Apa Itu Trickle Down Effect dan Ekonomi Neo-Liberalisme?

Kita kenal istilah “trickle down effect”, “menetesnya kemakmuran ke bawah”. Sebagaimana kita tahu doktrin ini tidak pernah terbukti benar. Kalau kita bicara tentang ekonomi neo-liberalisme jaman sekarang, sebenamyia tetap saja jiwanya adalah ekonomi neo-klasik, pasar bebas yang puritan. Kalau lembaga seperti Bank Dunia dan berbagai pemerintah itu memperkenalkan JPS dan semacamnya, sebenarnya mereka penganut aliran klasik, aliran Adam Smith, bukan aliran Alfred Marshall dan Sekolah Marginalis (Leon Walras dan Jevon).

Menurut Bertens (2003: 6), berdasarkan keadilan negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya "keadilan membagi”.

Kenapa Ketidakadilan Muncul dan Sistem Ekonomi?

Ketidakadilan muncul apabila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak khusus, seperti misalnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak terjadi pada rezim pemerintahan yang korup. Nepotisme adalah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif. Sedangkan menurut Keraf, prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan (Tambunan, 2006: 5-6).

Sesuai dengan kerangka konseptual sistem ekonomi, maka aspek keadilan menjadi bagian integral dalam pertimbangan untuk memecahkan persoalan mendasar dalam perekonomian suatu negara. Persoalan itu adalah apa barang yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa barang tersebut diproduksi. Sesuai dengan perspektif keadilan sosial maka barang yang diproduksi mestilah barang-barang yang dapat mendorong proses redistribusi kesejahteraan, sehingga ketimpangan dalam kepemilikan aset dan faktor produksi dapat dieliminasi. 

Selain itu, barang tersebut mestilah barang-barang yang menyangkut kebutuhan hidup yang paling mendasar, sehingga dapat menghapus masalah kemanusiaan dan ketidakadilan sosial sepertihalnya bencana kelaparan, gizi buruk, dan kemiskinan akut lainnya, di tengah gaya hidup mewah dan hedonistis sebagian elit masyarakat.

Bagaimana Prinsip keadilan sosial dalam Sistem Ekonomi? 

Prinsip keadilan sosial dalam kontek pemecahan bagaimana pola produksi dilakukan muncul dalam kontek kesamaan peluang dan akses semua warga masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Keadilan di sini juga diartikan dengan kebijakan afirmatif untuk memberikan perhatian lebih kepada kelompok marjinal seperti kaum miskin, dan mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia yaitu pelaku ekonomi rakyat. Dengan begitu, keadilan mestilah diterjemahkan dengan tidak adanya dominasi dan monopoli dalam sistem perekonomian nasional.

Prinsip keadilan sosial dalam kontek pemecahan masalah untuk siapa barang diproduksi diwujudkan dalam ketentuan bahwa hasil-hasil produksi suatu negara mestilah dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Keadilan disini dapat juga dipersepsikan dengan tidak adanya diskriminasi kepada pelaku-pelaku ekonomi marjinal dalam menikmati sumber-sumber keuangan negara sepertihalnya yang terdapat dalam APBN dan APBD. Dalam hal ini penganggaran pemerintah yang lebih responsif terhadap penduduk miskin dan pelaku ekonomi lemah sangat diperlukan dan menjadi landasan sistem perekonomian yang berkeadilan sosial.

Ilustrasi Terjadinya Ketidakadilan Sosial-Ekonomi

(Kasus Perekonomian Indonesia)

Imperialisme berkelanjutan, yang berwujud ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi (alam dan manusia) di Indonesia hingga kini menampakkan wajah penderitaan rakyat yang luar biasa. Sritua Arief (2000) mengungkap bahwa pada setiap US $ 1 modal asing, net tranfer revenue yang disedot ke luar negeri adalah sepuluh kali lipatnya (US 10$). Mubyarto (2005) pun menyatakan bahwa rasio konsumsi per kapita dengan PDRB per kapita menunjukkan fakta “derajat penghisapan” ekonomi Indonesia sebesar 57%. Artinya, hanya 43% nilai PDRB yang dinikmati rakyat di daerah, selebihnya “dihisap” ke kota-kota besar dan dibawa ke luar negeri.

Globalisasi ekonomi, yang merupakan wajah lain neolib, telah meyebabkan meluasnya ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi tersebut (Pilger, 2002). Bagaimana tidak?! Tiger Woods yang menjadi bintang iklan Nike bayarannya adalah sama dengan upah seluruh buruh Nike di Indonesia! Sepatu yang dijual seharga Rp 1,4 juta per buah pun ternyata yang dibagi (profit sharing) kepada buruhnya hanya Rp 5000 per buah! Hal ini dikontraskan dengan kekayaan elit (pemodal besar) yang pesta pernikahannya saja setara dengan upah pelayan pesta yang bekerja selama 400 tahun’.

Akibat imperialisme yang berkelanjutan ini adalah kemiskinan struktural disertai peminggiran (marjinalisasi) peran ekonomi rakyat dalam aktivitas perekonomian nasional. Kemiskinan absolut yang dialami 40 juta penduduk Indonesia makin memilukan karena disertai dengan terjadinya bencana kelaparan (NTT dan Yahukimo), gizi buruk, dan banyaknya anak putus sekolah.

Ketidakadilan dan ketimpangan itu telah membuat kaum miskin makin tak berdaya, sehingga terpaksa harus kembali mengalami nasib seperti di era kolonialisme. Keadaan makin jauh dari harapan tatkala kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah pasca reformasi pun tidak menyentuh pada akar masalah struktural di atas, karena dibangun dalam suasana keterjajahan ekonomi dan dominasi neolib, tanpa kesadaran yang cukup untuk terbebas darinya.

Salah satu aliran pemikiran yang manaruh perhatian besar terhadap aspek ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi (distribusi) dalam sistem perekonomian adalah aliran pemikiran strukturalis. Para pemikir strukturalis (yang sebenarnya tidak mewakili pemikiran yang homogen), mencoba mengidentifikasikan aspek rigiditas kesenjangan (lags), defisit dan surplus, elastisitas permintaan dan penawaran yang rendah, dan berbagai karakteristik lain yang melekat dalam struktur ekonomi negara berkembang, yang mempengaruhi penyesuaian ekonomi untuk kebijakan pembangunan (Meier, 1995: 87). Salah satu ciri kerangka analisis pemikiran strukturalis adalah sifat rigiditas hubungan dan imbangan antar sektor ekonomi.

Hal ini membawa unsure in elasticity pada transaksi ekonomi dalam masyarakat yang berakibat pula tidak adanya kecenderungan yang kuat untuk membuat tingkat penawaran dan permintaan pada keadaan ekuilibrium. Karenanya muncul keadaan disekuilibrium berupa ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam tata susunan ekonomi. Oleh karena itu dalam pembangunan ekonomi di masyarakat negara berkembang, negara dan pemerintahan harus mengambil peranan yang aktif dengan menjalankan kebijaksanaan untuk mengatasi segala ketimpangan yang melekat pada keadaan disekuilibrium tersebut.

Dengan mengacu pada kondisi dan karakteristik banyak negara berkembang, Lance Taylor merumuskan beberapa elemen pemikiran pemikir Strukturalis, yang disebut dengan Structuralist Syntesis, yaitu:

  1. Budget defisit yang rendah dan kebijakan makro ekonomi yang dominan adalah diharapkan, nmun sulit untuk dicapai.
  2. Perubahan harga riil secara makro, seperti upah, tingkat bunga, dan nilai tukar valuta asing, sulit diwujudkan.
  3. Reformasi perdagangan yang didasarkan pada perubahan tarif tidaklah cukup dibandingkan dengan pada perubahan kuota.
  4. Privatisasi tidak secara nyata memberikan keuntungan, dan perusahaan asing kemungkinan kurang efektif dalam mengintrodusir perubahan (transfer) teknologi dari pada perusahaan nasional.
  5. Liberalisasi keuangan melalui peningkatan tingkat bunga, dan penghapusan pagu kredit, tidak meningkatkan alokasi sumber daya, dan mungkin menimbulkan ketidakstabilan yang serius.
  6. Deregulasi pasar tenaga kerja akan berakibat pada penurunan tingkat upah, dan mendorong ekspor dalam jangka pendek.
  7. Penduduk yang terdidik, sehat dan dibayar dengan tingkat upah yang baik adalah diperlukan untuk meningkatkan produktivitas.
  8. Suatu fleksibilitas dan langkah yang secara kelembagaan tepat, harus diciptakan untul mengalirkan infomasi dan kredit diantara sektor publik dan swasta sebagai bagian dari kebijakan industri yang aktif.
  9. Perubahan kebijakan dibutuhkan untuk dipikirkan dengan tetap terangkai dengan kerangka historis dan kelembagaan.

Etika Dalam Sistem Ekonomi

Menurut Keraf (1998: 15) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Keraf mengatakan bahwa etika dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: 

  1. Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia: dan mengenai 
  2. Masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. 

Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima (Tambunan, 2006: 4).

Keraf menambahkan, ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi berbicara soal praktek- praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang sangat mempengaruhi tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara (ibid: 4-5).

Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif.

Kesimpulan Tentang Sitem-Ekonomi-Keadilan-Sosial

Menurut Bertens keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di mana tidak ada masalah keadilan sosial.

Berdasarkan keadilan negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”.

Sesuai dengan kerangka konseptual sistem ekonomi, maka aspek keadilan menjadi bagian integral dalam pertimbangan untuk memecahkan persoalan mendasar dalam perekonomian suatu negara. Persoalan itu adalah apa barang yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa barang tersebut diproduksi.

Ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis.

Daftra Link Pembahasan-Sistem-Ekonomi Terbaru

Berikut ini adalah link artikel terkait Sistem Ekonomi, silahkan anda lihat dengan mengklik link dibawah sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan judul yang anda cari.
  1. Daftar Pembahasan Sistem Ekonomi Paling Terkenal-Terbaik dan Terpopuler
  2. Sistem Ekonomi Pancasila, Pengertian, Landasan, Prinsip, Konsep dan Demokratisasi
  3. Sistem Ekonomi Indonesia, Warisan Kolonial, Era, Reformasi dan Agendanya
  4. Sistem Ekonomi Dualistik, Teori, Ciri, Dualisme, Krisis dan Kesimpulannya
  5. Sistem Ekonomi Campuran dan Ekonomi_Islam, Pengertian, Pengembang, Sejarah, Hubungan dan Modelnya
  6. Sistem Ekonomi Sosialis_Pasar |Konsep Dasar dan Kesimpulannya
  7. Sistem Ekonomi Sosialis, Pengertian, Sejarah, Konsep, Perkembangan dan Ciri_Cirinya
  8. Globalisasi Ekonomi dan Kapitalisme Global, Pengertian, Konsep dan Perkembangannya
  9. Sistem Ekonomi Kapitalis, Filosofi, Ciri, dan Perkembangannya
  10. Sistem Ekonomi Keadilan Sosial, Pengertian, Konsep, Prinsip dan Etika
  11. Sistem Ekonomi Kebijakan Publik, Pengertian, Ilustrasi, Pengaruh dan Peranan Pemerintah
  12. Mekanisme Kerja Sistem Ekonomi |Pelaku, Pola Hubungan, Kolonial Indonesia dan Struktur Sosial
  13. Konsep Dasar Sistem Ekonomi |Pengertian, Mekanisme, Pendekatan, Bentuk dan Model

Posting Komentar untuk "Sistem Ekonomi Keadilan Sosial, Pengertian, Konsep, Prinsip dan Etika"